San Diego, Mevin.ID – Suara gamelan akan kembali menggema di San Diego State University (SDSU), California, Senin malam waktu setempat, setelah nyaris tiga dekade vakum.
Bersama dalang legendaris Ki Midiyanto dan putranya Hanggoro Murti, wayang kulit Jawa kembali hadir membawa kisah-kisah epik Ramayana dan Mahabharata ke panggung Amerika Serikat.
Pertunjukan langka ini digelar di Smith Recital Hall SDSU, dengan dua sesi pukul 18.00 dan 19.30. Bukan sekadar tontonan budaya, penampilan ini menjadi peristiwa lintas generasi dan lintas benua, menghubungkan tanah Jawa dengan jantung California.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Wayang kulit adalah pengalaman yang sangat imersif. Visual bonekanya rumit, musik gamelannya semarak, dan narasinya kuat,” tulis pernyataan resmi SDSU, dikutip dari KPBS, layanan penyiaran publik setempat.
Kembali Setelah 30 Tahun
Menurut Laurel Grinnell-Wilson, kurator SDSU World Music Concert Series sekaligus direktur SDSU Javanese Gamelan Ensemble, ini adalah pertunjukan wayang kulit pertama di San Diego sejak 1990-an.
“Saya jatuh cinta pada budaya dan musiknya sejak pertama kali belajar gamelan di Indonesia pada 2009,” ujarnya. Grinnell-Wilson bertemu langsung dengan Ki Midiyanto kala itu—sebuah momen yang disebutnya kini terasa “full-circle”.
Lewat hibah dari College of Professional Studies and Fine Arts SDSU, ia terbang kembali ke Indonesia pada 2024 untuk merintis kolaborasi ini. Hasilnya adalah pertunjukan seni tradisi yang mempertemukan generasi, lintas budaya, dan komunitas kampus serta publik umum.
Kekuatan Budaya yang Menghubungkan Dunia
Ki Midiyanto bukan nama asing dalam dunia seni pertunjukan internasional. Lahir di Indonesia dari keluarga dalang dan pengrawit, ia kini menetap di California sebagai pengajar dan direktur Gamelan Sari Raras di Universitas California, Berkeley.
Ia telah memperkenalkan seni wayang dan gamelan ke berbagai penjuru dunia, dari AS, Kanada, Australia, hingga Selandia Baru.
Wayang kulit, yang telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada 2003, adalah bentuk teater tradisional yang menggabungkan bayangan, mitologi, filosofi, dan humor dalam satu panggung. Bonekanya dibuat dari kulit kerbau yang diukir secara manual—pekerjaan presisi yang bisa memakan waktu berminggu-minggu.
Sang dalang tak hanya menggerakkan boneka dan menyuarakan tokoh-tokohnya, tetapi juga mengarahkan seluruh musik dan dinamika pementasan. “Dalang adalah aktor, sutradara, narator, dan konduktor dalam satu tubuh,” kata Grinnell-Wilson.
Jika di Indonesia kita sering lupa pada warisan sendiri, di luar negeri, seni ini justru dicari, dirindukan, dan disambut dengan penuh penghormatan.
Wayang kulit tidak hanya bertahan—ia mengembara, menyentuh, dan menyatukan.***