DI SEBUAH perumahan bernama Mustika Grande, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi—ada suara yang nyaris tak pernah terdengar selama lebih dari 15 tahun.
Suara itu adalah suara warga. Bukan untuk menuntut lebih, tapi hanya meminta hak mereka: fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos-fasum) yang dijanjikan saat rumah-rumah mereka ditawarkan oleh developer, PT Budi Mustika.
Tanah-tanah yang semestinya menjadi ruang publik—lapangan, taman, masjid, jalan lingkungan—hingga kini belum juga diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Sejak tahun 2009 hingga 2025, status lahan fasos-fasum itu menggantung, dan justru digunakan oleh pihak-pihak tertentu tanpa seizin pemerintah yang berwenang.
Hingga akhirnya pada Oktober 2023, warga mulai bangkit. Mereka membentuk Aliansi Mustika Grande Bersatu (AMGB), gerakan warga yang muak karena suara mereka tak pernah digubris.
Aliansi ini bukan sekadar respons atas ketidakadilan struktural, tapi juga karena kekecewaan terhadap janji politik Ketua RW 13, Mulyana, yang saat mencalonkan diri berjanji akan memperjuangkan fasos-fasum warga.
Namun setelah terpilih, janji itu tak hanya dilupakan—tapi justru dikhianati.
Bersama Wakil Ketua BPD Desa Burangkeng, Ismuri, dan tokoh pemuda lokal Syarief Marhaendi, Mulyana bahkan menyatakan kepada media bahwa pembangunan area kuliner dan kolam ikan di atas tanah fasos Mustika Grande adalah hasil “musyawarah warga”.
Sebuah pernyataan yang disebut tidak benar dan menyesatkan oleh AMGB, karena tak ada satupun warga yang dilibatkan secara resmi dalam proses tersebut.
Yang lebih fatal, pembangunan di atas tanah fasos-fasum tersebut dilakukan tanpa izin dari Bupati Bekasi, sebuah pelanggaran administratif yang jelas.
Karena itu, AMGB sejak 2023 telah melaporkan kasus ini kepada Bupati Bekasi, Gubernur Jawa Barat, hingga Presiden Republik Indonesia.
Mengapa fasos-fasum tak kunjung diserahkan?
Ada dua alasan utama:
Pertama, karena ada dugaan keengganan dari pihak developer, PT Budi Mustika, untuk menyerahkan fasos-fasum kepada pemerintah.
Kedua, karena manajemen RW 13 Mustika Grande di bawah kepemimpinan Mulyana, serta manajemen Pemerintah Desa Burangkeng, diduga telah melangkahi kewenangan Bupati Bekasi dengan mengelola lahan tersebut secara sepihak.
Ini bukan sekadar konflik warga dengan RW. Ini soal pelanggaran kewenangan publik. Dalam hukum pemerintahan daerah, perangkat desa maupun RW tidak memiliki kewenangan mengelola lahan fasos-fasum sebelum diserahkan ke pemerintah daerah. Yang berhak mengatur, menyetujui, atau memberi izin atas aset tersebut adalah Bupati, Gubernur, hingga Menteri Dalam Negeri—bukan ketua RW atau perangkat desa.
Jadi, ketika RW, BPD, atau tokoh lokal bertindak seolah mereka pemilik lahan publik, yang terjadi bukan sekadar kesalahan teknis—tapi bentuk pengingkaran terhadap sistem hukum itu sendiri.
Kini warga bersatu, tak sekadar menuntut. Mereka melawan. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan keteguhan dan keyakinan bahwa hak atas ruang publik tidak boleh dikorbankan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Perlawanan AMGB bukan soal kolam ikan atau lapak kuliner. Ini tentang kewarganegaraan yang aktif, tentang warga biasa yang menolak menjadi korban diam dari sistem yang manipulatif.
Dan mungkin, dari Mustika Grande, kita sedang menyaksikan babak baru:
Ketika warga perumahan bangkit untuk mengingatkan negara bahwa demokrasi dimulai dari ujung gang, bukan dari podium kekuasaan.***
Pratigto, SH, Warga Mustika Grande, Ketua Aliansi Mustika Grande Bersatu (AMGB)





















