Yang Tak Pernah Dijanjikan, Tapi Harus Diperjuangkan

- Redaksi

Kamis, 31 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Photo : Tempat Usaha Diatas Fasos Fasum Mustika Grande yang diduga dipakai oleh Keluarga Kades Burangkeng Dan Kantor BumDes Desa Burangkeng

Photo : Tempat Usaha Diatas Fasos Fasum Mustika Grande yang diduga dipakai oleh Keluarga Kades Burangkeng Dan Kantor BumDes Desa Burangkeng

DI SEBUAH perumahan bernama Mustika Grande, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi—ada suara yang nyaris tak pernah terdengar selama lebih dari 15 tahun.

Suara itu adalah suara warga. Bukan untuk menuntut lebih, tapi hanya meminta hak mereka: fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos-fasum) yang dijanjikan saat rumah-rumah mereka ditawarkan oleh developer, PT Budi Mustika.

Tanah-tanah yang semestinya menjadi ruang publik—lapangan, taman, masjid, jalan lingkungan—hingga kini belum juga diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi.

Sejak tahun 2009 hingga 2025, status lahan fasos-fasum itu menggantung, dan justru digunakan oleh pihak-pihak tertentu tanpa seizin pemerintah yang berwenang.

Hingga akhirnya pada Oktober 2023, warga mulai bangkit. Mereka membentuk Aliansi Mustika Grande Bersatu (AMGB), gerakan warga yang muak karena suara mereka tak pernah digubris.

Aliansi ini bukan sekadar respons atas ketidakadilan struktural, tapi juga karena kekecewaan terhadap janji politik Ketua RW 13, Mulyana, yang saat mencalonkan diri berjanji akan memperjuangkan fasos-fasum warga.

Namun setelah terpilih, janji itu tak hanya dilupakan—tapi justru dikhianati.

Bersama Wakil Ketua BPD Desa Burangkeng, Ismuri, dan tokoh pemuda lokal Syarief Marhaendi, Mulyana bahkan menyatakan kepada media bahwa pembangunan area kuliner dan kolam ikan di atas tanah fasos Mustika Grande adalah hasil “musyawarah warga”.

Sebuah pernyataan yang disebut tidak benar dan menyesatkan oleh AMGB, karena tak ada satupun warga yang dilibatkan secara resmi dalam proses tersebut.

Yang lebih fatal, pembangunan di atas tanah fasos-fasum tersebut dilakukan tanpa izin dari Bupati Bekasi, sebuah pelanggaran administratif yang jelas.

Karena itu, AMGB sejak 2023 telah melaporkan kasus ini kepada Bupati Bekasi, Gubernur Jawa Barat, hingga Presiden Republik Indonesia.
Mengapa fasos-fasum tak kunjung diserahkan?

Ada dua alasan utama:
Pertama, karena ada dugaan keengganan dari pihak developer, PT Budi Mustika, untuk menyerahkan fasos-fasum kepada pemerintah.
Kedua, karena manajemen RW 13 Mustika Grande di bawah kepemimpinan Mulyana, serta manajemen Pemerintah Desa Burangkeng, diduga telah melangkahi kewenangan Bupati Bekasi dengan mengelola lahan tersebut secara sepihak.

Ini bukan sekadar konflik warga dengan RW. Ini soal pelanggaran kewenangan publik. Dalam hukum pemerintahan daerah, perangkat desa maupun RW tidak memiliki kewenangan mengelola lahan fasos-fasum sebelum diserahkan ke pemerintah daerah. Yang berhak mengatur, menyetujui, atau memberi izin atas aset tersebut adalah Bupati, Gubernur, hingga Menteri Dalam Negeri—bukan ketua RW atau perangkat desa.

Jadi, ketika RW, BPD, atau tokoh lokal bertindak seolah mereka pemilik lahan publik, yang terjadi bukan sekadar kesalahan teknis—tapi bentuk pengingkaran terhadap sistem hukum itu sendiri.

Kini warga bersatu, tak sekadar menuntut. Mereka melawan. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan keteguhan dan keyakinan bahwa hak atas ruang publik tidak boleh dikorbankan demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Perlawanan AMGB bukan soal kolam ikan atau lapak kuliner. Ini tentang kewarganegaraan yang aktif, tentang warga biasa yang menolak menjadi korban diam dari sistem yang manipulatif.

Dan mungkin, dari Mustika Grande, kita sedang menyaksikan babak baru:
Ketika warga perumahan bangkit untuk mengingatkan negara bahwa demokrasi dimulai dari ujung gang, bukan dari podium kekuasaan.***

Pratigto, SH, Warga Mustika Grande, Ketua Aliansi Mustika Grande Bersatu (AMGB)

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Bullying di Indonesia: Saat Satu Nyawa Mengungkap Luka Nasional yang Lebih Dalam
Longsor Cilacap, Pelajaran Berharga Soal Literasi Kebencanaan
Sandiwara Keadilan: Refleksi Ironi Korup dalam Sistem Kekuasaan
Harga Diri dan Kebebasan dalam Kesendirian: Menyelami Kebijaksanaan Socrates
Ketika Kota Bicara Lewat Gunungan Sampah
COP 30 dan Desa: Antara Komitmen Global dan Realitas di Tapak
Jeritan yang Tak Didengar: Membaca Ulang Tragedi SMAN 72
Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya

Berita Terkait

Minggu, 16 November 2025 - 14:39 WIB

Bullying di Indonesia: Saat Satu Nyawa Mengungkap Luka Nasional yang Lebih Dalam

Minggu, 16 November 2025 - 14:13 WIB

Longsor Cilacap, Pelajaran Berharga Soal Literasi Kebencanaan

Minggu, 16 November 2025 - 10:12 WIB

Sandiwara Keadilan: Refleksi Ironi Korup dalam Sistem Kekuasaan

Minggu, 16 November 2025 - 08:58 WIB

Harga Diri dan Kebebasan dalam Kesendirian: Menyelami Kebijaksanaan Socrates

Minggu, 16 November 2025 - 08:49 WIB

Ketika Kota Bicara Lewat Gunungan Sampah

Berita Terbaru

Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati (tampak dalam layar) memberikan pemaparan terkait pasar karbon dalam Sidang CMA7 COP30 di Belém, Brasil. (Antara/HO/Kementerian Kehutanan)

Ekonomi

Indonesia Dorong Aturan Pasar Karbon yang Lebih Adil di COP30

Minggu, 16 Nov 2025 - 18:15 WIB