DI TENGAH gempuran notifikasi dan opini tanpa henti di media sosial, kita seolah terjebak dalam budaya bicara tanpa jeda.
Namun, ribuan tahun sebelum era digital, Zeno dari Citium—filsuf pendiri aliran Stoikisme—sudah memberi petuah sederhana yang kini terasa lebih relevan dari sebelumnya: “Kita memiliki dua telinga dan satu mulut, maka kita harus lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.”
Petuah ini bukan sekadar nasihat kuno, tapi cerminan dari kebijaksanaan Stoik yang menekankan pengendalian diri, ketenangan pikiran, dan hidup selaras dengan alam.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi Zeno, mendengarkan adalah bentuk keutamaan; jalan menuju pemahaman yang lebih dalam, bukan hanya tentang orang lain, tapi juga tentang diri sendiri.
Siapa Zeno dari Citium?
Zeno hidup pada abad ke-3 SM. Setelah kehilangan seluruh hartanya karena kapal karam, ia memulai perjalanan filsafatnya di Athena. Di sanalah ia merumuskan Stoikisme—ajaran yang menekankan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada hal eksternal, melainkan berasal dari kebajikan, nalar, dan ketenangan batin.
Mendengarkan: Keterampilan yang Terlupakan
Menurut Dr. Maria Anindita, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, “Mendengarkan aktif memungkinkan kita benar-benar memahami lawan bicara. Ini meningkatkan kualitas interaksi dan membangun hubungan yang lebih sehat.”
Sayangnya, di zaman serba cepat ini, orang lebih sibuk memikirkan apa yang akan mereka katakan berikutnya, daripada betul-betul menyimak. Padahal, kemampuan mendengarkan dapat mencegah kesalahpahaman, mempererat empati, dan bahkan meredam konflik.
Di Era Digital, Mendengarkan Itu Revolusioner
Kebiasaan beropini di media sosial sering kali berubah menjadi debat kusir. Polarisasi mudah terjadi ketika tidak ada yang mau mendengar.
Di sinilah prinsip Zeno menjadi semacam penyejuk. Ia mengajak kita untuk menahan lidah, membuka telinga, dan mengolah pikiran sebelum mengucap atau menulis.
Ingin Lebih Stoik? Mulai dari Hal Sederhana:
1. Latih Mendengarkan Aktif
Fokus pada lawan bicara, jangan menyela. Tunjukkan bahwa kamu benar-benar hadir dalam percakapan.
2. Berpikir Sebelum Bicara
Tidak semua opini harus diucapkan. Kadang diam adalah wujud tertinggi dari kontrol diri.
3. Kurangi Perdebatan di Medsos
Energi lebih baik digunakan untuk memahami daripada menyerang.
4. Latih Kesabaran dan Empati
Kesabaran dalam mendengar membuka ruang untuk memahami perasaan dan perspektif orang lain.
Hening Bukan Berarti Tak Bijak
Zeno mengingatkan bahwa dalam dunia yang penuh suara, menjadi pendengar yang baik adalah tindakan yang kuat.
Mendengarkan bukan tanda kelemahan—melainkan langkah awal menuju komunikasi yang sehat, hubungan yang harmonis, dan hidup yang lebih bermakna.
Karena kadang, dalam diam, kita lebih banyak belajar.***