Bandung, Mevin.ID – Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) terus menggenjot solusi konkret dalam menghadapi krisis sampah yang membayangi wilayah Bandung Raya. Salah satu langkah strategis yang tengah dilakukan adalah mempercepat operasional Zona 5 Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Sarimukti pada bulan Juni 2025.
“Insya Allah bulan ini Zona 5 mulai operasional. Ini kami siapkan untuk menampung sampah baru sekaligus mengatasi masalah overload di Sarimukti,” ujar Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Herman Suryatman, saat kunjungan kerja di Cirebon, Jumat (13/6).
Langkah ini merupakan jawaban atas realitas menumpuknya sampah dari Bandung Raya yang berkisar 1.500-2.000 ton per hari, yang kian mendekatkan TPPAS Sarimukti pada ambang daya tampung maksimalnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Overload Sampah: Ancaman Nyata Sarimukti
Saat ini, terdapat 223 rit pengangkutan sampah per hari yang masuk ke Sarimukti, dengan volume rata-rata mencapai 1.500 ton. Walau relatif lebih terkendali dibandingkan sebelumnya, angka ini tetap menjadi beban besar bagi TPPAS Sarimukti.
Maka, Zona 5 dibuka bukan hanya sebagai tambahan daya tampung, tetapi juga simbol keseriusan Pemprov Jabar dalam penanganan darurat sampah, terutama pasca insiden darurat sampah pada pertengahan 2023 lalu yang membuat beberapa titik di Bandung Raya mengalami “tsunami sampah”.
Teknik Landfill Mining dan CSR Bank BJB
Selain pembukaan zona baru, Pemprov Jabar juga menerapkan teknik landfill mining untuk mengelola timbunan sampah lama yang menggunung. Menariknya, proyek ini dibiayai melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Bank BJB.
“Setiap hari ada sekitar 70 ton sampah lama yang kami olah menjadi tanah uruk. Ini untuk memperpanjang usia pakai Sarimukti dari tiga tahun menjadi empat tahun,” jelas Herman.
Landfill mining tak hanya memperpanjang masa operasional TPA, tetapi juga menjadi model pengelolaan berkelanjutan yang bisa dicontoh daerah lain.
Seruan Serius ke Pemerintah Daerah
Meski regional sudah bekerja keras, Herman menekankan bahwa penanganan sampah tidak akan efektif tanpa kontribusi langsung dari pemerintah kabupaten/kota.
Ia menyoroti Kota Cirebon, yang saat ini masih menggunakan sistem open dumping di TPA Kopi Luhur—sistem yang dinilai sudah tak layak secara lingkungan dan rawan konflik sosial.
“Kalau belum bisa optimal, minimal ada political will di APBD Perubahan untuk mulai penganggaran. Penutupan dan pengurukan bisa dimulai secara konvensional sembari menuju sistem yang lebih baik,” ujarnya.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bahkan telah memberi tenggat waktu enam bulan bagi Pemkot Cirebon untuk mengadopsi sistem sanitary landfill, guna menghindari potensi sanksi administratif atau pidana jika terjadi kebakaran atau pencemaran lingkungan.
Zona 5 Bukan Solusi Final
Zona baru mungkin bisa menyerap sampah baru, tapi selama pola konsumsi dan produksi sampah masyarakat tidak berubah, maka TPPAS mana pun akan kehabisan waktu dan ruang.
Pemerintah daerah, warga, dan pelaku usaha dituntut mengambil bagian: dari reduksi sampah di sumber, daur ulang, hingga mengubah pola belanja menjadi lebih berkelanjutan. Zona 5 adalah peluang waktu, bukan akhir dari masalah.***