Bandung, Mevin.ID – Isu eksploitasi air tanah oleh perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) yang kembali mencuat pasca-inspeksi mendadak (sidak) oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di Subang, memantik reaksi keras dari pegiat lingkungan.
Pemerhati lingkungan hidup dan Relawan Kebencanaan, Rakean “Apachiel” Djayakusumah, secara keras menyoroti dugaan pelanggaran perundang-undangan dari level konstitusi hingga teknis lingkungan hidup oleh industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) skala besar, dengan menjadikan kasus Aqua sebagai studi banding.
Menurutnya, operasi bisnis raksasa air kemasan telah mengancam kedaulatan air dan hak dasar warga negara.
Rakean menegaskan bahwa akar masalahnya adalah pergeseran makna Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, di mana air yang seharusnya “dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” justru dikuasai korporasi untuk keuntungan komersial.
“Ini adalah pelanggaran paling fundamental. Ketika pabrik beroperasi dan menyebabkan mata air masyarakat kering, negara telah gagal memenuhi mandat konstitusi. Air yang seharusnya untuk rakyat, kini dijual kembali kepada rakyat,” ujar Rakean dalam analisisnya.
Tiga Level Pelanggaran Utama yang Disorot
Rakean membagi temuannya menjadi tiga kategori pelanggaran hukum utama:
1. Pelanggaran Konstitusional (UUD 1945):
A. Pasal 33 Ayat (3): Pemberian izin masif ke korporasi asing/besar dianggap menggeser kemakmuran rakyat menjadi keuntungan korporasi.
B. Pasal 28H Ayat (1): Eksploitasi air yang menyebabkan kekeringan dan pencemaran limbah plastik melanggar hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Pelanggaran Prioritas Sumber Daya Air (UU No. 17/2019 tentang SDA):
Rakean menyoroti Pasal 26 UU SDA yang menyatakan, pemenuhan kebutuhan air dasar warga memiliki prioritas utama jika ketersediaan air terbatas.
“Jika masyarakat kesulitan air minum, masak, dan mandi, sementara pabrik AMDK terus mengambil volume besar untuk komersial, ini pelanggaran langsung terhadap skala prioritas undang-undang,” tegasnya.
3. Pelanggaran Administratif dan Lingkungan (UU No. 32/2009 tentang PPLH):
A. Dugaan pelanggaran mencakup dokumen AMDAL yang tidak akurat dalam menghitung dampak kumulatif eksploitasi, serta ketidakpatuhan terhadap Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) yang seharusnya menjamin ketersediaan air untuk warga.
B. Kasus kekeringan di sekitar pabrik dianggap relevan dengan prinsip Tanggung Gugat Mutlak (Strict Liability) Pasal 99 UU PPLH, di mana korban tidak perlu membuktikan kesalahan perusahaan, cukup adanya kerusakan dan hubungan sebab akibat.
Tuntutan dan Rekomendasi Hukum
Rakean menyimpulkan bahwa kerangka hukum Indonesia sudah cukup kuat, namun tantangannya ada pada penegakan hukum. Ia merekomendasikan tiga langkah hukum yang bisa ditempuh masyarakat:
A. Gugatan Administratif: Menggugat pembatalan Izin Lingkungan dan Izin Pengusahaan Air Tanah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
B. Gugatan Perdata (Class Action): Menuntut ganti rugi ke Pengadilan Negeri atas kerugian (sumur/mata air kering) menggunakan asas Tanggung Gugat Mutlak.
C. Tekanan Politik dan Advokasi: Mendesak Pemerintah Daerah dan DPRD untuk segera merevisi Peraturan Daerah (Perda) guna memperketat izin dan memprioritaskan air baku untuk rakyat di atas kepentingan komersial.
Rakean menekankan bahwa operasi AMDK skala besar secara hukum berpotensi melanggar di tiga level: Filosofis-Konstitusional, Administratif, dan Substantif (Prioritas Air), sehingga perlu keberanian aparat penegak hukum untuk menindak korporasi demi melindungi kedaulatan air dan hak asasi warga.***



 
					






 
						 
						 
						 
						 
						










