DI TENGAH hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh gesekan, mudah sekali bagi kita untuk tersulut amarah saat berhadapan dengan tindakan atau perkataan orang lain yang terasa salah, tidak adil, atau menyebalkan.
Namun, jauh di masa lalu, seorang filsuf Stoik yang bijaksana, Epictetus, menawarkan sebuah perspektif radikal yang dapat mengubah reaksi spontan kita menjadi respons yang penuh kebijaksanaan:
“Ketika engkau marah kepada seseorang, ingatlah bahwa dia bertindak demikian karena menurutnya itu benar. Jika engkau memahami hal ini, amarahmu akan berubah menjadi pengertian.”
Kutipan sederhana ini adalah inti dari kendali emosi dan empati ala Stoa. Epictetus mengajarkan bahwa amarah kita—emosi yang sering kali terasa paling personal dan membenarkan diri sendiri—sebenarnya adalah hasil dari kesalahpahaman. Kita marah karena kita berasumsi bahwa orang lain bertindak dengan niat jahat atau kelalaian yang disengaja.
Namun, Epictetus memaksa kita untuk melihat kebenaran yang lebih dalam: setiap orang bertindak berdasarkan cara pandang, pengalaman, dan keyakinannya sendiri.
Inti Konflik: Perbedaan Realitas
Prinsip Stoik ini bermula dari pemahaman bahwa pikiran manusia adalah semesta yang unik. Apa yang bagi kita jelas-jelas salah, bagi orang lain mungkin terasa sepenuhnya benar atau logis dalam konteks pengetahuan, keterbatasan, atau tekanan yang mereka hadapi.
Seorang rekan kerja yang menunda pekerjaan, seorang pengemudi yang memotong jalur, atau anggota keluarga yang membuat keputusan yang kita anggap buruk—mereka semua bergerak dalam kerangka pemahaman mereka sendiri, sebuah realitas internal yang berbeda dari milik kita.
Mungkin rekan kerja itu sedang kewalahan dengan masalah pribadi yang tidak kita ketahui. Mungkin pengemudi itu panik karena ada urusan mendesak. Mungkin keputusan buruk keluarga itu didorong oleh ketakutan mendalam yang tak terucapkan.
Ketika kita menyadari bahwa tindakan mereka adalah konsekuensi dari apa yang mereka yakini benar saat itu, fokus amarah kita pun bergeser. Amarah biasanya menargetkan tindakan dan menghakimi karakter.
Pemahaman, sebaliknya, menargetkan persepsi dan menawarkan pengurangan hukuman. Kita berhenti menyalahkan niat jahat dan mulai mengakui keterbatasan perspektif manusia.
Jalan Menuju Kedamaian: Empati Sebagai Kebijaksanaan
Dalam filsafat Stoik, kebijaksanaan sejati (phronesis) bukan terletak pada kemampuan bereaksi cepat atau membalas setimpal, melainkan pada kemampuan untuk memahami dan mengendalikan apa yang berada di dalam kendali kita—yaitu, pikiran dan respons kita sendiri.
Amarah adalah reaksi yang menyerahkan kendali kepada pihak luar; ia membiarkan tindakan orang lain mendikte keadaan batin kita.
Sebaliknya, pengertian (synesis) adalah respons yang mengambil kembali kendali. Ketika kita mengganti kemarahan dengan pemahaman, kita melepaskan diri dari siklus emosi negatif yang merusak.
Kita tidak perlu membenarkan tindakan buruk orang lain, tetapi kita dapat memahami mengapa mereka melakukannya. Dengan ini, tujuan kita berubah dari pembalasan atau pembenaran diri menjadi pengurangan konflik dan pencarian solusi yang lebih tenang.
Ini adalah sebuah tindakan empati yang paling murni: bukan persetujuan, melainkan pengakuan atas kemanusiaan mereka dan hak mereka untuk memiliki perspektif yang berbeda.
Kita tidak hanya menenangkan hati sendiri dari gejolak amarah, tetapi juga membuka ruang bagi komunikasi yang lebih dewasa dan harmonis.
***
Kutipan Epictetus ini adalah peta jalan menuju kedamaian batin dalam menghadapi dunia yang kacau. Ini mengajarkan kita bahwa pengendalian diri bukanlah penekanan emosi, melainkan transformasi emosi melalui kecerdasan.
Saat kita belajar melihat dunia dari perspektif orang lain—dengan menyadari bahwa setiap orang bertindak berdasarkan apa yang mereka anggap benar—kita memutus rantai kemarahan yang menyakitkan.
Amarah, yang menghabiskan energi dan merusak hubungan, lenyap, digantikan oleh pengertian yang menenangkan. Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi individu yang lebih damai, tetapi juga arsitek hubungan yang lebih kuat dan masyarakat yang lebih berempati.
Inilah warisan abadi dari kebijaksanaan Stoik: mengubah amarah menjadi pengertian adalah langkah fundamental menuju kehidupan yang dijalani dengan penuh kendali dan kebijaksanaan.***



 
					






 
						 
						 
						 
						 
						










