Bandung, Mevin.ID — Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sukabumi, Bogor, dan Karawang kembali menjadi kritik keras terhadap tata kelola lingkungan di Jawa Barat.
Ribuan warga mengungsi, ratusan rumah rusak, dan infrastruktur lumpuh. Para pegiat lingkungan menilai, bencana ini bukan sekadar akibat hujan deras, melainkan akumulasi panjang dari kerusakan ekologi yang diabaikan pengambil kebijakan.
Ketua LPBI NU Jawa Barat sekaligus mantan Ketua Dewan Nasional WALHI, Dadang Sudardja, menyebut bencana ini sebagai sinyal serius bahwa arah kebijakan pengelolaan ruang sudah melenceng jauh.
“Kondisi ini menunjukkan ada yang salah dalam tata kelola lingkungan. Bencana ini bukan semata-mata faktor alam,” tegas Dadang dalam keterangannya, Selasa (28/10).
Menurut Dadang, curah hujan tinggi hanyalah pemicu, sedangkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), hilangnya kawasan resapan, serta eksploitasi berlebih menjadi faktor utama besarnya dampak bencana.
Alih Fungsi Lahan dan Eksploitasi Hulu Jadi Biang Keladi
Dadang merinci dua faktor dominan yang memperparah kerentanan bencana di Jawa Barat:
- Galian C dan Pertambangan
 Merusak struktur tanah, menghilangkan vegetasi hulu, dan memicu sedimentasi sungai.
- Konversi Lahan Masif
 Perubahan kawasan hijau menjadi komersial atau permukiman tanpa mengukur daya dukung lingkungan.
Di Sukabumi, status Tanggap Darurat telah ditetapkan setelah banjir bandang menerjang Cisolok dan Cikakak. Lebih dari 1.500 jiwa terpaksa mengungsi. Di Bogor Selatan, longsor menimpa pemukiman warga. Sementara di Karawang, luapan sungai merendam puluhan rumah di Telukjambe Barat.
Dorongan Kebijakan Korektif: Audit dan Moratorium
Para aktivis menilai pemerintah selama ini terlalu fokus pada respon pasca-bencana, namun mengabaikan akar persoalan.
Tuntutan mereka jelas:
- Audit Lingkungan Menyeluruh
 Evaluasi izin galian C, pertambangan, dan alih fungsi lahan di wilayah rawan.
- Moratorium Izin Baru
 Menghentikan sementara seluruh izin eksploitasi di kawasan hulu dan resapan air.
- Restorasi Lahan Kritis
 Mengalokasikan anggaran pemulihan ekologis secara serius dan berkelanjutan.
Dadang menyebut, tanpa perubahan kebijakan, bencana hidrometeorologi hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi, dengan skala kerusakan semakin besar setiap tahunnya.
“Ini alarm keras bagi pengambil kebijakan. Kalau tata ruang tak diperbaiki, rakyat akan terus menjadi korban,” ujarnya.
Bencana ini menjadi momentum untuk meninjau ulang hubungan manusia dengan alam Jawa Barat — apakah pembangunan terus digenjot dengan mengorbankan keselamatan warga, atau pemerintah berani mengambil langkah korektif yang berpihak pada keberlanjutan hidup generasi berikutnya.***
Penulis : Bar Bernad



 
					






 
						 
						 
						 
						 
						










