Cianjur, Mevin.ID — Sebuah foto Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang mengatasnamakan pria diduga warga negara Israel dengan alamat di Cianjur, Jawa Barat, menyebar cepat di media sosial dan memicu kehebohan publik.
Dalam KTP tersebut, tertera nama Aron Geller, berkewarganegaraan Indonesia, berstatus menikah, serta berdomisili di Kampung Pasir Hayam, Desa Sirnagalih, Kecamatan Cilaku.
Narasi liar ikut menyertai: mulai dari dugaan kepemilikan tanah hingga klaim bahwa pemilik KTP telah memiliki paspor Indonesia. Warganet memenuhi kolom komentar para pejabat daerah, meminta kejelasan.
Untuk merespons kegaduhan tersebut, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi langsung menemui Bupati Cianjur Mohammad Wahyu Ferdian, Senin (27/10). Pertemuan itu berlangsung singkat namun tegas: pemerintah daerah memastikan KTP tersebut adalah palsu.
“Kami sudah melakukan pengecekan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Baik nama maupun NIK yang tercantum tidak ada dalam sistem nasional,” kata Bupati Wahyu.
@dedimulyadiofficialTerkait warga negara Israel berKTP Cianjur, ini penjelasan dari Pak Bupati Cianjur @dr.mohammadwahyu 
Sistem kependudukan di Indonesia terintegrasi secara daring. Artinya, jika seseorang memiliki NIK, maka datanya tercatat di pusat dan dapat diverifikasi dari seluruh wilayah. Karena itu, KTP dengan identitas berbeda di satu daerah tidak mungkin luput dari pencocokan sistem.
Dedi Mulyadi menegaskan, isu tersebut tidak perlu dibesar-besarkan.
“Disdukcapil itu terhubung nasional. Kalau datanya tidak ada di sistem, artinya dokumen tersebut dibuat sendiri. Selesai,” ujarnya.
Alamat Dicek, Identitas Tidak Ditemukan
Pemerintah daerah bahkan menelusuri langsung alamat yang tertera. Hasilnya, tidak ada warga bernama Aron Geller yang tinggal di sana. Warga sekitar juga tidak pernah mengenal nama tersebut.
Sejumlah pihak menduga kasus ini terkait pemalsuan identitas menggunakan data pribadi acak, bukan penerbitan resmi yang melibatkan instansi.
Peringatan soal Keamanan Data
Ahli administrasi kependudukan di kalangan pemerhati kebijakan menilai, viralnya kasus ini menunjukkan perlunya edukasi digital mengenai verifikasi informasi—terutama terkait dokumen negara.
Dalam situasi di mana isu politik global mudah memicu emosi, kabar semacam ini mudah memantik prasangka dan kegaduhan yang tidak perlu.***



 
					






 
						 
						 
						 
						 
						










